“Grand Piano
itu?” tanyaku padanya.
“Itu hadiah
ulang tahun dari Stefhan.” jawab John. Cepat-cepat aku berpaling menatap
Stefhan yang membuat wajah tak bersalah dan menatap kearah Grand Piano
keperakan yang baru kusadari pernah kulihat di malam kencan pertamaku
dengannya, di toko peralatan musik milik keluarga Robin Hudgeson.
“Kau pernah bilang
itu bagus,” alibi Stefhan.
“Kubilang
bagus untukmu!” tukasku.
“Cemerlang
sekali, Stefhan. Sekarang aku baru sadar apa yang kurang dari ruangan ini.”
John membela Stefhan.
Aku memutar
bola mata.
“Oke.
Terimakasih.”
“Apapun untukmu.”
jawab Stefhan. Ia lalu mencondongkan tubuh kearahku. “Kupikir suatu saat juga
ibumu pasti akan menyewa seorang guru les piano. Jadi kenapa tidak sekarang
saja?”
“Semua demi
berdekatan denganku, tentu saja.” desahku, setengah berbisik. “Tapi hadiahmu
selalu berlebihan, bagaimana mungkin aku bisa memberimu yang setara dengan
ini?”
“Tak ada satu
bagianpun dari dirimu yang setara dengan apapun bagiku.”
“Hmmm.” Aku
menyerah. “Berapa tanggal ulangtahunmu?”
Stefhan
tertawa. “Kau tidak pernah melihat-lihat profil facebook-ku atau bagaimana?”
“Tidak adil
kalau hanya kau saja yang tahu hal-hal mengenaiku,” ketusku. “Dan aku sedang
mencari peluang untuk balas budi.”
“Tidak perlu
repot-repot,” sanggahnya. “Lagipula, ngomong-ngomong, ini hanya sebagian kecil dari
segala hal yang sanggup kuberikanuntukmu. Jadi kau tidak usah capek-capek
memikirkan balas budi, aku tidak pernah mengharapkan apa-apa, bagiku bisa
melihatmu saja sudah impas.”
“Satu hal
saja, Stefhan, aku mohon jangan pernah memberiku apapun lagi sebelum aku
benar-benar membutuhkannya. Maukah kau berjanji?”
Stefhan
mengerutkan dahinya, menatap kesungguhan tatapanku selama beberapa detik,
kemudian mengangguk dengan enggan.
“Jadi kapan?”
tanyaku lagi.
“Apanya?”
“Tanggal
ulangtahunmu, kau pikir aku sedang menanyakan kapan kita bisa memulai
perjalanan keliling Eropa?”
“Tadinya
kuharap begitu.”
Aku mengerling
tajam kearahnya.
“Baiklah,
baiklah, 23 Desember.” jawabnya sambil mengangkat kedua tangan. “Begitu?”
Aku mendesah
lega dan tersenyum padanya.
“Tapi,”
lanjutnya lagi―ia tersenyum, namun memandangku bersikeras. “Dari semua hadiah
yang kutawarkan, kurasa kau tak akan menolak yang satu ini.”
Ia kemudian
membelai-belai pipiku dengan sebelah tangannya, kehangatan yang menjalar ke
pori-poriku sangat luar biasa. Aku menundukkan kepala, sebelah tanganku
mengelus liontin keperakan Tiffany’s berbentuk dua huruf ‘S’ yang saling
bersilangan membentuk simbol infinity―pemberian
Stefhan di malam ia memintaku untuk menjadi tunangannya―lalu mulai merasa gugup.
Otakku tak lagi mengingat apa yang ingin kutanyakan pada Stefhan sebelumnya,
terlalu sibuk memikirkan cara untuk menemukan suatu tempat dirumah ini yang jauh
dari jangkauan pandang keluargaku, lalu tenggelam dalam-dalam di pelukan paling
menentramkan sedunia milik Stefhan. (from Time[s] by Aya Swords)
saya menunggu untuk cerita selanjutnya tatiana & don
ReplyDeletelekas terbitkan kak xD