Wednesday 29 May 2013
Monday 27 May 2013
BERPIKIR POSITIF-LAH :-)
Seorang janda miskin Siu Lan punya anak umur 7 tahun bernama Lie Mei. Kemiskinan membuat Lie Mei harus membantu ibunya berjual kue dipasar, karena miskin Lie Mei tidak pernah bermanja-manja kepada ibunya. Pada suatu musim dingin saat selesai bikin kue, Siu Lan melihat keranjang kuenya sudah rusak dan Siu Lan berpesan pada Lie Mei untuk nunggu dirumah karena ia akan membeli keranjang baru.
Saat pulang Siu Lan tidak menemukan Lie Mei dirumah. Siu Lan langsung sangat marah. Putrinya benar-benar tidak tau diri, hidup susah tapi masih juga pergi main-main, padahal tadi sudah dipesan agar menunggu rumah. Akhirnya Siu Lan pergi sendiri menjual kue dan sebagai hukuman pintu rumahnya dikunci dari luar agar Lie Mei tidak dapat masuk. Putrinya mesti diberi pelajaran, pikirnya geram.
Sepulang dari jual kue Siu Lan menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak didepan pintu. Siu Lan berlari memeluk Lie Mei yang membeku dan sudah tidak bernyawa. Jeritan Siu Lan memecah kebekuan salju saat itu. Ia menangis meraung2, tetapi Lie Mei tetap tidak bergerak. Dengan segera Siu Lan membopong Lie Mei masuk kerumah. Siu Lan mengguncang2 tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei. Tiba2 sebuah bingkisan kecil jatuh dari tangan Lie Mei. Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu dan membuka isinya. Isinya sebuah biskuit kecil yg dibungkus kertas usang dan tulisan kecil yang ada dikertas adalah tulisan Lie Mei yang berantakan tp dpt dibaca, "Mama pasti lupa, ini hari istimewa bagi mama, aku membelikan biskuit kecil ini untuk hadiah, uangku tidak cukup untuk membeli biskuit yang besar… Mama selamat ulang tahun".
Kisah nyata ini dimuat di harian Xia Wen Pao-Cina, tahun 2007.
MAHASISWA, MAHASISWA, MAHASISWA!
Posisi mahasiswa
dalam kehidupan politik di Indonesia selama ini adalah diantara masyarakat dan
pemerintahan, yang berarti sangat strategis dan penting yang tak kalah untuk
diperhitungkan. Karena itu eran strategis organisasi mahasiswa dalam dinamika
politik Indonesia menjelang pemilu 2014 sangat diperlukan mengingat mahasiswa
mayoritas belum mempunyai kepentingan dalam politik. Apalagi sekarang ini,
media yang seharusnya pada posisis netral pun menjadi tempat menggiring isu dan
saling sikut menyikut demi kepentingan pemilik modal. Akibatnya masyarakat yang
awam dan tidak sadar akan politik menjadi mudah terhasut dan termakan oleh
berita-berita yang disiarkan.
Disinilah
arti pentingnya mahasiswa dalam dunia perpolitikan, dimana posisi mereka
harusnya lebih bebas menilai dan memiliki idealisme yang kuat dan tak mudah
terombang ambing oleh isu sana-sini. Dalam organisasi kampus (BEM, HIMA, UKM
dsb) biasanya dicetak para mahasiswa yang berorientasi pada kepentingan
masyarakat banyak bukan pada kepentingan dirinya sendiri. Dan dari sinilah
tercipta insan yang memiliki idealisme tinggi dalam membela kepentingan publik.
Itulah sebabnya mahasiswa harus kritis dalam melihat situasi kondisi yang
terjadi dalam masyarakat. Mahasiswa
mempunyai energi dan potensi positif bagi masa depan bangsa, sehingga harus
dikelola dengan baik oleh civitas akademika kampus dan para pemangku
kepentingan.
Menjelang pemilu 2014, salah satu konflik yang
belakangan ini terjadi adalah isu kudeta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 27 Maret 2013. Gerakan mahasiswa yang
tergabung dalam Konsolidasi Nasional Mahasiswa Indonesia (Konami) mengeluarkan
maklumat SBY-Boediono harus mundur dari jabatannya. Gerakan mahasiswa itu diikuti
128 Kampus dari 40 kota di Indonesia. Mereka mengatakan bahwa mahasiswa sudah
kembali pada tracknya sebagai agen perubahan yang jauh dari politik praktis,
bahwa gerakan mereka bebas dari kepentingan politik. Mahasiswa
menganggap mereka adalah eksekutor yang akan mengantarkan SBY pada
kejatuhannya, karena dianggap telah gagal menjalankan tugasnya sebagai pemimpin
Negara. Seiring terjadinya konflik tersebut, pro dan kontra pasti terjadi
dilingkungan masyarakat baik yang awam maupun ‘melek politik’. Belum ada yang
paling benar dan paling salah, kita hanya bisa menarik hikmah positif dari
semua konflik yang terjadi belakangan, misalnya, jika sampai menjelang 2014 tidak ada gejolak
politik signifikan maka Pemilu 2014 akan berlangsung sebagaimana pemilu-pemilu
sebelumnya dan pemenangnya sudah dapat diketahui sejak saat ini. Jika tidak ada
tokoh muda (mahasiswa) yang visioner, memiliki idealisme tinggi, anti-subjektif
dan memiliki leadership yang kuat untuk menyeleksi calon pemerintah NKRI, maka pemenang
pemilu presiden kemungkinan besar akan bejalan dengan pola yang sama, yakni
dimenangkan oleh sosok yang popular dan memiliki modal kapital yang besar. Bukan
oleh mereka yang minus popularitas apalagi yang minus modal kapital.
Sunday 26 May 2013
PYGMALION & GALATEA
Seorang pemahat muda berbakat dari Cyprus, bernama Pygmalion, adalah pemuda yang tidak pernah berurusan dengan wanita. Ia memutuskan tidak menikah. Kesenian, menurutnya, sudah cukup bagi dirinya sendiri.
Namun, ia adalah pemuda yang baik hati. Pygmalion dikenal sebagai orang yang suka berpikiran positif. Ia memandang segala sesuatu dari sudut yang baik. Apabila lapangan di tengah kota becek, orang-orang mengomel. Tetapi Pygmalion berkata, 'Untunglah, lapangan yang lain tidak sebecek ini.' Ketika ada seorang pembeli patung ngotot menawar-nawar harga, teman Pygmalion berbisik, 'Kikir sekali orang itu.' Tetapi Pygmalion berkata, 'Mungkin orang itu harus mengeluarkan uang untuk urusan lain yang lebih perlu'. Ketika anak-anak mencuri apel dikebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia bahkan merasa iba, 'Kasihan, anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya.'
Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segi buruk, melainkan justru dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain; sebaliknya, ia mencoba membayangkan hal-hal baik dibalik perbuatan buruk orang lain.
Suatu hari, ia membuat patung seorang wanita. Ia tidak dapat membebaskan pikirannya dari wanita dan mengerjakan patungnya dengan sungguh-sungguh, hingga patung buatannya lebih cantik dari wanita manapun yang dilahirkan ke dunia.
Patung buatannya tidak terlihat seperti patung; siapapun yang melihat patung itu tak akan menganggap patung itu terbuat dari batu atau gading, namun mirip manusia, hanya saja tidak bergerak. Demikianlah patung yang dibuat Pygmalion dengan kesungguhan dan cita rasa seni yang tinggi.
Namun sejak itu dan seterusnya, cinta yang pernah ia kutuk membalas dendam terhadapnya. Pygmalion jatuh cinta pada patung buatannya. Setiap hari ia mencium bibir patung itu meski ciumannya tak terbalas; ia membelai lengan dan wajahnya meskipun patung itu hanya diam saja. Selama beberapa waktu sang pemahat mencoba berpura-pura, seperti yang dilakukan anak-anak kepada mainan. Ia memakaikan patung buatannya dengan jubah yang anggun dan membayangkan bahwa patung buatannya merasa puas. Ia juga membawa hadiah-hadiah sebagaimana biasa dibawa laki-laki untuk kekasihnya dan membayangkan bahwa ia merasa senang dengan hadiah-hadiah pemberian Pygmalion. Pygmalion membaringkan patungnya di tempat tidur pada malam hari, menyelimuti dengan selimut yang hangat dan lembut. Namun Pygmalion bukan anak kecil lagi; ia tidak bisa selamanya berpura-pura. Akhirnya ia menyerah. Ia mencintai sesuatu yang tidak hidup dan kini ia merasa putus asa. Pygmalion ingin patung buatannya hidup.
Keinginan itu akhirnya diketahui oleh Dewi Cinta, Venus (Aphrodite), dan Venus bermaksud membantu Pygmalion.
Hari penjamuan (feast day) untuk Venus sangat dihormati di Cyprus, pulau yang menerima kehadirannya setelah ia dilahirkan dari buih laut. Beberapa anak sapi yang putih seputih salju yang tanduknya telah disepuh emas dipersembahkan untuknya; bau busuk yang menyenangkan dari dupa menyebar di setiap penjuru pulau dari altar-altarnya; orang-orang berkumpul di kuilnya; Pygmalion juga ada di sana. Ia memohon kepada Venus agar bertemu dengan wanita yang mirip dengan patungnya. Namun Venus mengetahui apa keinginan hati Pygmalion yang sesungguhnya dan sebagai tanda Venus akan mengabulkan permohonannya, nyala api yang berada di depan tempat duduknya menyembur tiga kali ke udara.
Pertanda yang baik kemudian mencari rumah Pygmalion dan patung yang ia cintai sepenuh hati. Patung itu terlihat sangat cantik dan sedang berdiri di atas tumpuannya. Pygmalion memeluknya, kemudian mencium bibirnya dengan kelembutan, dan ia merasakan bibir patung buatannya melembut. Pygmalion menyentuh tangannya, bahunya; dan semuanya melembut seolah-olah ia sedang menyentuh wanita sungguhan. Seperti melihat lilin meleleh di bawah sinar matahari. Ia memegang pergelangan tangannya dan merasakan urat nadinya berdenyut. Ia menganggap semua itu berkat Venus. Dan dengan penuh bahagia ia memeluk patung itu dan melihatnya tersenyum kepadanya.
Venus hadir dalam pernikahan mereka dan memberkati mereka. Apa yang terjadi selanjutnya tidak diketahui, kecuali Pygmalion memberi nama patung itu Galatea dan anak mereka, Paphos, memberikan namanya untuk kota kesukaan Venus.
(Edith Hamilton)
LAMA SEKALI INGIN MENULIS CERITA INI.
Pernah ada satu cerita dari mitologi Yunani yang membuatku terpukau. Aku benar-benar jatuh cinta pada cerita itu, benar-benar terinspirasi. Akhirnya suatu saat, kuputuskan untuk mengadaptasi ulang cerita tersebut dengan berimprovisasi sana-sini, memberi kesan modern dan kekinian, menghilangkan jejak fantasi dalam isi cerita dari mitologi sebelumnya.
"PYGMALION & GALATEA."
Pernah kucoba untuk menulisnya, namun apa daya lagi-lagi rasa malas membuatnya masih bersambung di chapter satu--itupun belum benar-benar selesai.
Doakan suatu saat cerita ini berlanjut, ya! :-D
PS:
Dibawah ini adalah beberapa paragraf awal yang kutulis, yang tidak pernah berkelanjutan:
SATU
AKU tak
pernah punya keberanian untuk menghitung waktu. Tak tahu sudah berapa lama aku
berdiri mematung di balkon, merasakan hangatnya sinar matahari menembus setiap
sela-sela kecil pori-poriku, menikmati hembusan angin yang terkadang rasanya
seperti zat padat yang menghujam halus kulitku, namun hancur tanpa bekas sesaat
setelah menyentuhnya. Aku benci bergerak, benci membuka mataku dan
menghancurkan kenyamanan yang kurasakan. Kali ini terutama aku benci melihat ke
belakang, ke arah kaca jendela balkon yang tingginya dua kali lipat dari
tinggiku sendiri—aku
benci pantulan sesosok gadis cantik bergaun putih panjang yang mengenakan
perhiasan-perhiasan mewah di leher dan tangannya, juga anting-anting kemilau menggantung
indah di kedua daun telinganya. Aku benci melihatnya begitu menawan, seperti
pahatan patung tanpa cela, dengan kedua mata lebar yang indah dan lensa mata
coklat mudanya yang membuai; bibir ranumnya yang kemerahan dan penuh
keeksotikan; dagunya yang lancip dan lehernya yang jenjang; serta lekuk
tubuhnya yang indah dan sempurna.
Aku tak pernah meluangkan waktu
untuk memikirkan berapa kemungkinan yang dapat kugunakan untuk merubah hidupku,
memulai semuanya dari awal. Yang paling sering kupikirkan adalah hal-hal baru
apa lagi yang sedang direncanakan Tuhan untukku. Aku tidak pernah memberikan
pendapat. Aku senang mengangguk dan menyetujui, karena aku sama sekali tidak
ingin peduli. Tidak bahkan di saat-saat seperti ini, saat-saat dimana aku
sendirilah yang seharusnya menentukan jalan hidupku, dan keputusan-keputusan
mana yang akan kuambil. Tak ada pilihan untuk menyeleksi mana yang benar dan
mana yang salah. Jalan hidupku sudah ditentukan, garis nasibku sudah
ditetapkan.
“Galatea,”
Sebuah suara mengejutkanku. Aku memang bisu, tapi aku sama sekali tidak tuli.
Aku hafal suaranya, itu adalah suster Amara—satu-satunya
orang yang benar-benar kukenal di dunia; satu-satunya orang yang bisa kuajak
bicara. Sesegera mungkin aku menyapukan sebelah tangan kiri ke seluruh
permukaan wajahku, khawatir kalau-kalau aku meninggalkan sesuatu disana. “Apa
yang masih kau lakukan disini, nak?”
“Tidak ada,
suster,”
Tanganku bergerak cepat, berbicara dengan bahasa isyarat padanya. Aku
memandangnya dan tersenyum. Wajahnya menatapku getir, seakan ikut merasakan
kepedihanku, penderitaan yang mencengkeram hatiku. Hal-hal yang seolah
menegaskan bahwa aku tidak pernah punya banyak alasan untuk tersenyum seperti
itu.
“Kau
bisa kedinginan,” Suster Amara menyelimutkan jubah wol hangat di tubuhku.
Bagaimana aku bisa kedinginan kalau aku masih dapat mensyukuri sinar matahari
yang menyorotiku sejak tadi? Kemudian aku melirik keatas dan menyadari sesuatu.
Matahari tadi sudah lenyap entah sejak kapan. Oh.
“Aku baik-baik
saja,”
Kali ini tanganku bergerak lebih lambat. Tapi aku mempertahankan senyum saat ia
membawaku masuk kedalam. Kami duduk di salah satu sofa lebar yang berada di
sudut kamarku. Ruangan yang tidak pernah membuatku terbiasa, tak peduli sudah
selama apapun aku terjebak disana. Suster Amara memelukku, dengan sebelah
lengan kanannya dilingkarkan di bahuku. Ia menatapku dalam-dalam dengan penuh
rasa sayang, dan prihatin.
“Pukul berapa
acaranya dimulai?” tanyaku, berusaha terlihat biasa-biasa saja.
“Pukul
enam, masih ada tiga jam lagi.”
Aku
memejamkan mataku dan mengangguk.
“Jadi,
suster. Apa kau tahu sesuatu tentang calon suamiku ini?”
“Namanya
Pygmalion Edgar Hall,” jawabnya datar. “Kau bisa memanggilnya Edgar.”
“Ceritakan lebih
lagi,”
desakku. “Bagaimana rupanya?”
Ia
memandangiku, tak percaya dengan ketertarikan palsu di mataku. “Sejujurnya,
pemuda itu lebih dari sekedar tampan. Tubuhnya tegap dan kekar, cukup untuk
membuat wanita manapun tergila-gila padanya.”
“Sifatnya?”
“Ia
sangat sopan. Ia pun pintar dan berbakat. Keluarga Hall hanya mempunyai satu
lagi anak perempuan bernama Hera, dan Edgar adalah anak tertua. Jadi Edgar-lah
satu-satunya pewaris. Suatu saat nanti ia akan mengepalai semua jalur pemasukan
dan pengeluaran dari bisnis yang diproduksi keluarga konglomerat Inggris itu di
Indonesia.”
“Berapa
umurnya?”
“Dua
puluh tiga tahun, hanya tiga tahun lebih tua darimu.”
Aku
memandang langit-langit. Diam-diam bersyukur karena ini mungkin saja tidak akan
terlalu sulit. Edgar—siapapun dia—kedengarannya adalah calon
suami yang sempurna. Mungkin aku tidak perlu repot-repot berusaha keras
mencintainya. Atau mungkin aku tidak harus mencintainya sama sekali.
“Bagaimana
perasaanmu?” tanya suster Amara. Kerutan di wajah yang seolah menggambarkan
usia tuanya sedikit membuatku panik. Tapi sedekat apapun aku dengan suster Amara,
bukan berati aku tidak pandai menyembunyikan sesuatu darinya.
“Baik.”
“Apa
kau sama sekali tidak merasa sedih?” tuntutnya. “Kau tahu kau bisa bercerita
apapun padaku, Galatea.”
“Mana mereka?” Aku
berusaha keras mengalihkan perhatiannya.
Suster
Amara mendesah. “Tuan dan Nyonya Bramanung mungkin sedang sibuk mempersiapkan
acaranya.”
“Apa masih ada
yang kurang?”
“Terakhir
kali kutanyakan mereka masih menunggu bunga-bunganya.” jawabnya.
Sirat
kekhawatiran di wajahnya membuatku semakin tidak nyaman.
“Aku ingin
jalan-jalan,” aku memberitahunya. Suster Amara mengerutkan dahi. “Jangan khawatir, aku hanya akan duduk-duduk
di air mancur taman, dekat lokasi. Akan ada lebih dari dua puluh orang disana.”
Ia
berpikir sebentar. “Baiklah,” jawabnya. Suster Amara mengenalku dengan baik,
karena itu aku tahu pada saat ini ia sebenarnya pasti lebih ingin membiarkanku
sendirian daripada harus ditemani. Aku bangkit dari dudukku, tidak melepaskan
jubah wolnya karena aku khawatir ia akan berbicara sesuatu, aku tidak ingin
memberinya sedikitpun alasan untuk berubah kepikiran dan mencegahku keluar
sendirian. “Tapi kau harus berjanji, tidak akan jauh-jauh.”
Aku
berbalik dan tersenyum lagi padanya, sebelah tanganku hampir menggapai kenop
pintu. Aku meninggalkan ruangan tanpa mendengar kata-katanya lagi.
Aku
menuju taman dengan melewati tangga di balkon belakang. Udara sejuk kembali
menerpa wajahku, walau kali ini tanpa matahari. Dari kejauhan aku dapat melihat
beberapa orang begitu sibuk bekerja, hilir-mudik mempersiapkan pesta pertunanganku.
Pesta pertunangan dengan orang yang bahkan belum kukenal.
Aku
terkekeh pelan, berusaha menyembunyikan perasaan miris dari diriku sendiri.
Tapi guratan setajam silet itu seolah tidak pernah hilang dari hatiku—selalu
siap untuk membuatku merasa sakit kapan saja. Kakiku terus berjalan, aku tidak
mengangkat gaunku sama sekali, tidak peduli gaunku kotor, tidak peduli apapun.
Aku berusaha merasa terhibur dengan pikiran-pikiran konyol di otakku. Mungkin
tentang suami yang akan menyiksaku setiap hari dengan tamparan dan kata-kata
kasarnya.. Mungkin tentang meracik racun herbal yang akan kuminum sendiri..
Mungkin tentang mempunyai anak dan meninggal saat melahirkannya..
Aku
membiarkan angin membawa suasana hatiku menjadi berlarut-larut. Saat ini, tak
ada yang lebih kuinginkan dari menertawakan kisah hidupku sendiri, atau
cerita-cerita masa lalu maupun gambaran masa depanku. Aku ingin duduk. Aku
ingin bersantai. Aku ingin menikmati kebebasan sementaraku sebelum
terkurung kembali di sangkar emas yang sudah memerangkap sebagian dari jiwaku.
Aku ingin mengeluarkan seluruh sisa airmataku sebelum aku tak bisa merasakannya
menuruni kedua pipiku lagi.
Aku
melepas sepatuku, meninggalkannya begitu saja di rerumputan. Aku cukup yakin
tak ada seorangpun yang melihatku disini. Tak ada seorangpun yang melihatku
berjalan kearah sini. Aku melewati air mancur taman belakang dan mengingat
janjiku pada suster Amara. Aku masih akan berada di dekat sini, ia tak akan
sempat merasa khawatir sebelum menemukanku.
Aku
terus berjalan, jauh kedalam taman sekitar kediaman keluarga Bramanung yang
luasnya tak bisa kutafsirkan. Meninggalkan orang-orang sibuk itu semakin jauh
dibelakang. Sebelas tahun lamanya tinggal tetap tidak cukup membuatku mengenal
tempat ini dengan baik. Bramanung adalah keluarga konglomerat yang kaya raya.
Aku tak ingin membayangkan dimana saja mereka menyebarkan harta-hartanya yang
melimpah ruah. Menjadi puteri angkat dalam keluarga ini seharusnya membuatku
bahagia, atau setidaknya bangga.
Tapi
tidak ada seorangpun yang tahu kenapa aku begitu membenci mereka.
Friday 24 May 2013
SEDIKIT CERITA TENTANG TULISANKU
MASK[s], novel pertama ber-genre sciene fiction yang kutulis sejak SMA. Disebut novel jatuh-bangun karena satu rintangan tersulit yang menghadang proses penulisannya: MALAS. Sebenarnya tak ada alasan khusus mengapa aku baru bisa selesai menulis cerita ini dalam kurun waktu 5 tahun.
Yup, 5 tahun.
Dalam 5 tahun aku sempat mengalami kebuntuan cerita, kementokan karakter, dan kemalasan menulis.
Tapi akhirnya, TA-DA! Novel ini selesai. Alasan terselesainya sebenarnyanya hanya 1: yaitu karena saat itu, aku dikejar dead-line naskah untuk lomba Publishing Searching for Author yang diadakan Grasindo Publisher, pada tanggal 30 Februari 2013.
Fantastis rasanya berjuang menyelesaikan sisa kelanjutan cerita dalam 1 bulan.
Dan akhirnya, Voila! Grasindo tertarik untuk menerbitkan naskah jatuh-bangunku.
Alhamdulillah, semoga novel ini sukses meraup keuntungan besar juga bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga ini juga langkah awal untuk kesuksesan naskah-naskahku berikutnya.
Amin O:-)
Yup, 5 tahun.
Dalam 5 tahun aku sempat mengalami kebuntuan cerita, kementokan karakter, dan kemalasan menulis.
Tapi akhirnya, TA-DA! Novel ini selesai. Alasan terselesainya sebenarnyanya hanya 1: yaitu karena saat itu, aku dikejar dead-line naskah untuk lomba Publishing Searching for Author yang diadakan Grasindo Publisher, pada tanggal 30 Februari 2013.
Fantastis rasanya berjuang menyelesaikan sisa kelanjutan cerita dalam 1 bulan.
Dan akhirnya, Voila! Grasindo tertarik untuk menerbitkan naskah jatuh-bangunku.
Alhamdulillah, semoga novel ini sukses meraup keuntungan besar juga bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga ini juga langkah awal untuk kesuksesan naskah-naskahku berikutnya.
Amin O:-)
Subscribe to:
Posts (Atom)