Friday 14 February 2014

CUPLIKAN MASKS PART 2 :-P

My favorite scene, the night of Shenia and Stefhan;s first date <3

“Oke, jangan bahas tragedi apa pun,” ujarku akhirnya. “Maukah kau
mengucapkan sepatah kata saja padaku?”
Di luar dugaan, ia memalingkan wajahnya padaku. Ekspresinya masih
tidak semanis biasanya, tapi setidaknya ia berusaha mengukir sedikit
senyum di wajahnya yang kaku tapi begitu halus tanpa cela.
Itu tetap membuatku merasa lebih baik.
Ketika aku memperhatikan jalan, kami sudah sampai di kilometer 21. Itu
artinya sebentar lagi kami sudah keluar jalan tol. Sudah saatnya aku berpisah
dengan Stefhan, demi apa pun yang mendadak ingin diurusinya malam ini.
Hatiku tiba-tiba merasa tidak enak—atau tidak puas.
Stefhan menepikan mobilnya ke kiri, agak canggung, entah apa yang
menjadi penyebabnya. Ia tak mematikan mesin, itu tandanya ia tidak sedang
ingin mengajakku bicara banyak. Dan sesuai dengan dugaanku, ia hanya menjulurkan
tangan kirinya menggapai bahu kiriku, meraih tubuhku mendekat
padanya. Ketiba-tibaan ini membuatku terenyak kaget. Namun beberapa
detik kemudian, aku sudah nyaman menyandarkan kepalaku di bahunya.
Pelukannya lebih hangat dari selimut mana pun yang pernah menutupi
tubuhku, melindungiku dari udara dingin.
“Kita akan menunggu di sini sampai kendaraan yang menjemputmu
datang,” katanya.
“Aku akan menikmatinya kalau begitu.”
“Apanya?”
“Detik-detik terakhirku dekat denganmu malam ini.”
“Aku akan menemuimu lagi, Shenia.” Ia sedikit tersenyum. “Bahkan
mungkin sedikit lebih sering.”
“Aku tetap ingin menikmatinya,” ulangku.
Aku merasakan Stefhan menggeleng-gelengkan kepalanya ringan di
atas kepalaku. “Kau tahu? Kau satu-satunya orang yang bisa mengendalikan
perasaanku.”
“Mengendalikan bagaimana?”
“Aku berusaha semampuku untuk menyembunyikannya. Semenit yang
lalu, perasaanku masih belum sebaik ini dan—”
“Kau sama sekali tidak berhasil menyembunyikannya,” potongku.
“—dan sekarang kau membuatnya jauh lebih baik,” lanjutnya, senyumnya
melebar.
Aku mengangkat bahu. “Aku tak melakukan apa pun.”
“Kau bilang kau ingin menikmati waktu bersamaku, itu yang membuat
perasaanku membaik.”
“Memangnya apa istimewanya?” Aku menunduk, menyembunyikan
wajahku yang memerah walau aku tahu di dalam mobil yang gelap ia tak
mungkin bisa melihatnya.
“Shenny.” Ia menggunakan sebelah tangannya untuk mengangkat
daguku hingga wajahku hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Suara
degupan jantungku yang memalukan tak bisa kukontrol lagi. “Segala hal yang
berhubungan denganmu—semuanya—sangat penting bagiku.”
Aku tertegun, tetap tak sanggup memalingkan tatapanku dari mata
indahnya yang menatapku tajam.
“Apa kau masih belum paham apa maksudnya?” tambahnya.
Kini jemarinya yang lembut merengkuh wajahku. Matanya begitu lekat
menatap wajahku sampai aku merasakan hidung kami bersentuhan. Aku
masih belum bisa berkata apa-apa. Bagaimana aku bisa berkata sesuatu?
Darah yang naik ke otakku karena rasa gugup sialan ini membuat
kepalaku semakin pening, hampir-hampir aku sulit bernapas.
“Sudah sedekat ini, kau masih belum menyadari kalau aku mencintaimu?”
Dan sepersekian detik kemudian, aku sudah larut dalam fantasiku.

***

No comments:

Post a Comment