“Kau
tidak benar-benar menyangka kau ini korban kejahatan atau apa bukan? Mengapa wajahmu
tegang begitu?” Stefhan meringis.
“Hanya..
terlalu banyak asumsi dalam otakku.” dalihku singkat.
Stefhan
meraih tanganku, menggenggamnya lembut lalu menariknya ke bibir. Ia mengecup
punggung tanganku. “Simpan dulu asumsi-asumsimu itu, nanti akan kutanyakan lagi
satu persatu.”
“Hmmm.”
aku tak sanggup berkata-kata. Tak lama, kami sampai di sebuah pintu yang
tingginya dua setengah kaki. Pintu itu berwarna coklat polos dengan kenop
berwarna emas yang elegan. Stefhan membukanya pelan-pelan dan pintu itu sama
sekali tak mengeluarkan suara.
“Ini..
kamarku.” Stefhan memberitahuku.
Kamar itu
begitu luas, dua kali lipat lebih besar dari kamar di apartemenku. Dindingnya
berwarna abu-abu pucat, berbeda dengan
warna dinding disepanjang sudut dalam rumah yang barusan kami lewati. Diseberang
sana, sejajar dengan pintu, terdapat jendela dengan tirai putih yang menjorok
keluar. Atap kamar Stefhan miring kearah jendelanya. Disisi kanan-kirinya
terdapat masing-masing satu rak buku raksasa seperti yang pernah kulihat sebelumnya.
Rak-rak tersebut penuh dengan buku yang tersusun dengan rapi, terlihat sangat
baru. Disampingnya terdapat sebuah ranjang serba putih berukuran besar,
kerangkanya terbuat dari kayu yang warnanya serupa dengan semua bahan kayu yang
terdapat di seluruh interior rumah.
Namun
bukan itu yang menarik perhatianku.
Hal yang
tak bisa mengalihkan pandanganku adalah topeng-topeng itu. Ada lebih dari 10
lusin topeng menggantung disetiap sudut dinding. Puluhan berkelompok disamping
rak buku, puluhan lagi diatas tempat tidur, lalu disebelah lemari dan didekat
kamar mandi. Topeng-topeng itu bukan topeng bahan kayu atau plastik yang biasa
kau jumpai di pesta-pesta kostum, namun lebih mirip seperti topeng berbahan
karet yang biasa dilihat di berita kriminal; yang biasa dipakai seseorang untuk
merampok atau semacamnya. Warnanya berbeda-beda, semua jenis warna kulit
manusia dari berbagai macam ras. Topeng-topeng ini mempunyai satu macam
ekspresi.
“Apa itu?”
tanyaku spontan, tak berhasil menyembunyikan nada terkejutku.
“Topeng?”
Stefhan menjawab dengan nada bertanya. Aku melihat kearahnya, melihat alisnya
mengkerut. Ketara sekali ia khawatir dengan reaksiku.
“Kau
mengoleksi topeng? Untuk apa?”
“Hanya..
hobi.” Ia ragu-ragu.
Aku
menghampiri sekelompok topeng yang paling dekat dari posisiku berdiri,
disamping lemari pakaian—lalu memicingkan mata, memperhatikan. Topeng-topeng
itu memiliki bentuk wajah yang berbeda-beda dan hanya memiliki lubang di bagian
mata dan lubang hidung. “Bolehkah?” tanyaku. Stefhan mengangguk, mengijinkanku
menyentuh salah satu koleksinya. Permukaannya begitu lembut dan dingin.. kenyal
seperti agar-agar. Topeng yang kusentuh memiliki janggut di dagunya. Seketika
kusentuh bulu-bulu itu, lalu terkesiap.
Topeng
ini asli dan sangat mungkin digunakan
untuk penyamaran.
Stefhan
menghampiriku dengan langkah terseret-seret. “Aku belum bisa menjawab
pertanyaan apapun yang kau ajukan untuk mengetahui ada apa dibalik
topeng-topeng ini, Shenia.” Dahinya mengkerut, seakan cemas kalau-kalau aku
akan memaksa. “Kau mungkin akan mengetahuinya sendiri suatu saat nanti.”
***
Lalu apa yang harus aku lakukan?
Bukankah tadi aku berjanji bahwa aku tak peduli siapa, bahkan apa Stefhan itu sebenarnya? Bukankah aku
ingin tetap mengikutinya, berkecimpung dalam cerita hidupnya?
Terlalu berbahayakah
pilihan itu?
Aku tak bisa memungkiri
bahwa pikiran dan firasat-firasat buruk sedang menyerangku saat ini. Akan lebih
baik sebenarnya bila aku tak pernah bertemu dan mencintai Stefhan, akan lebih
baik sebenarnya bila aku hidup di dunia yang sudah kutinggali selama 17 tahun.
Akan lebih baik bila aku tak pernah terjebak dalam situasi berbahaya macam
apapun yang dapat mengancam nyawaku.
Tapi aku tahu aku tak akan
bisa seperti itu. Mencintai Stefhan adalah pilihan. Setakut apapun, seberbahaya
apapun keputusanku, itu adalah satu-satunya
pilihan. Bersama-sama Stefhan entah sejak kapan menjadi harga mati bagiku. Aku bahkan
tak mungkin mengurangi intensitasku untuk bersamanya, untuk memikirkannya.
Sudah pernah kucoba beberapa kali—tak pernah ada yang berhasil.
Stefhan terlalu banyak mengambil
bagian dalam kehidupanku. Ia terlalu serakah mengambil porsi dan aku tak bisa
melakukan apapun untuk mencegahnya. Aku akan tetap bersamanya, mencintainya, apapun
kenyataan-kenyataan baru yang mungkin akan kuhadapi nantinya.
Aku menarik nafas
dalam-dalam, dari hitungan 1 sampai 8, sebanyak 5 kali berturut-turut.
Pelan-pelan kumatikan keran airnya, menatap kaca dan melatih wajahku sebiasa
mungkin, sewajar yang kubisa. Lalu aku membuka pintu, mencari-carinya, kemudian
melihatnya terduduk di ujung ranjang, menelungkupkan kedua tangannya yang
berpangku pada paha, membungkuk menutupi wajahnya.
Aku menghampirinya
pelan-pelan, duduk disampingnya dan membelai pipinya saat ia memalingkan wajah
untuk menatapku.
“Aku tak peduli siapa kau
ini.” ulangku tegas, kali ini tak ada keraguan sedikitpun didalamnya.
Stefhan memelukku, seerat
yang ia bisa namun tetap menjaga agar tak sampai menyakitiku. Ingin sekali aku
mengusap-usap punggungnya, mengatakan bahwa tak ada yang harus dicemaskan,
semuanya akan baik-baik saja. Namun aku tak punya cukup kekuatan seperti itu.
Sebenarnya aku tak pernah punya kekuatan untuk membuat kesan bahwa aku lebih
tegar dan kuat dari siapapun.
“Terimakasih telah
mendukung keegoisanku.” Suara Stefhan melemah. “Kau terlalu berharga bagiku
sekarang ini, Shenia, aku tak sanggup membuang jauh-jauh egoku.”
“Kau tak perlu
melakukannya. Karena aku juga sangat ingin bersamamu. Anggap saja itu pilihanku
sendiri dan aku sangat memaksamu.”
Stefhan tersenyum dan
membelai pipiku. Punggung tangannya begitu halus, begitu membuatku terbuai.
“Boleh aku meminta satu
hal saja?”
“Apapun.”
“Jangan pernah berpikir
bahwa kau punya cukup alasan untuk meninggalkanku. Aku tak pernah keberatan
mengalami sendiri adegan-adegan di film action
itu, kau tahu.”
Stefhan tertawa lagi, kali
ini tertawa lega. “Sebisa mungkin aku akan selalu menjagamu tetap selamat.” Ia
mengedipkan sebelah matanya.