Aku selalu mencintainya. Aku mencintainya sedalam
lautan es yang menenggelamkan kapal Titanic, kau tahu. Aku sanggup mencintainya
sedalam itu.
Aku sanggup pergi keujung dunia untuk bersamanya,
aku sanggup menahan kebencianku pada kapal laut untuk berlayar dengannya. Aku
rela tenggelam. Apapun itu dan seburuk apapun resikonya, aku akan
menghadapinya.
Seperti orang tolol, memang. Sejak awal aku tahu
cintaku timpang. Tak ada seorangpun yang pernah melihat sorot mata penuh
cintanya untukku―sama sekali berbanding terbalik dengan sorot
mataku.
Kalau kau mau tahu, ia hanya pernah satu kali
membelikanku bunga, tak pernah mengajakku ke tempat-tempat bagus, atau bahkan dengan
sengaja menggenggam tanganku jika kami tidak sedang berjalan dijalan penuh
mobil yang kebut-kebutan. Ia bahkan tak pernah menemukan waktu yang tepat untuk
dihabiskan bersamaku, tanpa game-game konyol dan film-film basi. Dan bila kami
berciuman, yah, semua hal tentang kupu-kupu di perutmu itu? Lupakan saja. Ia
bahkan membuka matanya, kau tahu? Siapa yang bisa-bisanya membuka mata saat
menciummu, kecuali ia sama sekali tidak sedang merasa berdebar, atau
mengagumimu, atau semacamnya saat sedang melakukannya.
Tapi, separah apapun langitku runtuh, aku tetap
mencintainya. Aku tetap suka mengoceh tentang hal-hal tak penting di hidupku
kepadanya, aku tetap merasa perlu menuangkan segala hal yang sedang kupikirkan.
Aku tetap suka menyuarakan khayalan-khayalan konyol tentang kehidupan kami di
masa mendatang, walau aku tahu persis ia sama sekali tak menganggapnya lebih
penting dari game-game sialan itu. Dan memeluknya, menciumnya? Aku terbiasa
melakukannya, dengan atau tanpa reaksi yang baik darinya.
Kalau kau adalah seorang gadis, yang penuh impian
dan ingin pangeranmu berdansa denganmu? Yup. Aku juga seperti itu. Bukannya aku
tak tahu kalau itu tolol dan benar-benar ketinggalan jaman―tapi
aku juga ingin sesekali berdansa dengan pangeranku, yah, dalam kasus ini
artinya pemuda yang kucintai. Tapi? Tentu saja. Sekali lagi lupakan. Aku tahu
ia tak akan pernah mengabulkan permintaanku yang satu itu. Ia bukan tipe pemuda
yang suka cerita-cerita dongeng Disney, dan benar-benar menolak untuk
menyukainya meski hanya sementara―meski hanya untukku.
Kau tahu, orang-orang bilang dalam sebuah hubungan,
selalu ada seseorang yang cintanya lebih besar dari yang lainnya; aku tahu
sudah terlambat berharap kalau orang itu bukanlah aku.
Itulah mengapa kalau aku masih boleh bermimpi,
kuharap suatu saat nanti ada seseorang, siapapun itu yang akan menyanyikan When
I Was Your Man – Bruno Mars untukku. Sungguh, aku tak keberatan dengan metode
apapun. Aku pasti akan menggabruknya dan mengatakan bahwa aku memaafkannya dan
aku mencintainya dan terimakasih sudah mau mencintaiku sedalam itu. Tapi
sayangnya, kemungkinan hal semacam itu terjadi hampir mendekati nol.
Jadi bisa dibilang, harapanku itu sulit sekali
untuk mendekati kenyataan.
Dia pernah mengatakan bahwa ia sudah menyerah
dengan segala tuntutan konyolku dan menyuruhku pergi mencari pemuda-pemuda dari
negeri dongeng yang kuimpikan. Itu kalimat yang paling menyayat hatiku, ia
mengirisnya, memotongnya kecil-kecil dan aku harus capek-capek mengumpulkan
serpihan-serpihannya lagi. Tentu saja aku tetap kembali padanya, aku tetap
percaya kalau dia memang mencintaiku, hanya saja dengan caranya sendiri―cara
yang tak pernah kubayangkan dan sama sekali tak pernah ada di film-film.
Aku sadar aku membohongi diriku sendiri. Aku dan
semua orang yang melihat dari kasat mata tahu kalau tak ada cinta buatku, oke,
segala pikiran tentang ia mencintaiku dengan caranya itu hanya ilusi. Ia hanya
membutuhkanku saat ia sudah tak punya hal lain untuk dikerjakan, dan mungkin
saat dia sedang tak ada teman.
Setelah ini kau pasti masih tak percaya kalau aku
masih saja mencintainya. Aku masih saja peduli jam berapa ia makan siang dan
sedang apa dia sekarang. Aku benci kelemahanku yang satu ini. Seandainya aku
bisa membuang sifat tak tepat sasaranku yang ini, aku bersedia membayar
siapapun yang rela memungutnya dengan harga nego.
Tapi aku tak bisa.
Ia sendirilah kelemahanku itu. Aku tak bisa menahan
diri untuk tak merindukannya, melihat senyumnya, mendengar suaranya.. aku tak
bisa merasa kuat saat ia tak ada. Aku akan membutuhkan morfin dalam jumlah
besar. Aku akan membutuhkan perawatan yang lama.
Aku tak sanggup tak mencintai si bodoh ini. Jadi,
selanjutnya bagaimana?
No comments:
Post a Comment