Wednesday 26 June 2013

Surat si kecil Tatiana Hudgeson (jika nanti si naskah lanjutan, TIME[s], memang benar-benar akan ada)

Aku selalu mencintainya. Aku mencintainya sedalam lautan es yang menenggelamkan kapal Titanic, kau tahu. Aku sanggup mencintainya sedalam itu.
Aku sanggup pergi keujung dunia untuk bersamanya, aku sanggup menahan kebencianku pada kapal laut untuk berlayar dengannya. Aku rela tenggelam. Apapun itu dan seburuk apapun resikonya, aku akan menghadapinya.
Seperti orang tolol, memang. Sejak awal aku tahu cintaku timpang. Tak ada seorangpun yang pernah melihat sorot mata penuh cintanya untukkusama sekali berbanding terbalik dengan sorot mataku.
Kalau kau mau tahu, ia hanya pernah satu kali membelikanku bunga, tak pernah mengajakku ke tempat-tempat bagus, atau bahkan dengan sengaja menggenggam tanganku jika kami tidak sedang berjalan dijalan penuh mobil yang kebut-kebutan. Ia bahkan tak pernah menemukan waktu yang tepat untuk dihabiskan bersamaku, tanpa game-game konyol dan film-film basi. Dan bila kami berciuman, yah, semua hal tentang kupu-kupu di perutmu itu? Lupakan saja. Ia bahkan membuka matanya, kau tahu? Siapa yang bisa-bisanya membuka mata saat menciummu, kecuali ia sama sekali tidak sedang merasa berdebar, atau mengagumimu, atau semacamnya saat sedang melakukannya.
Tapi, separah apapun langitku runtuh, aku tetap mencintainya. Aku tetap suka mengoceh tentang hal-hal tak penting di hidupku kepadanya, aku tetap merasa perlu menuangkan segala hal yang sedang kupikirkan. Aku tetap suka menyuarakan khayalan-khayalan konyol tentang kehidupan kami di masa mendatang, walau aku tahu persis ia sama sekali tak menganggapnya lebih penting dari game-game sialan itu. Dan memeluknya, menciumnya? Aku terbiasa melakukannya, dengan atau tanpa reaksi yang baik darinya.
Kalau kau adalah seorang gadis, yang penuh impian dan ingin pangeranmu berdansa denganmu? Yup. Aku juga seperti itu. Bukannya aku tak tahu kalau itu tolol dan benar-benar ketinggalan jamantapi aku juga ingin sesekali berdansa dengan pangeranku, yah, dalam kasus ini artinya pemuda yang kucintai. Tapi? Tentu saja. Sekali lagi lupakan. Aku tahu ia tak akan pernah mengabulkan permintaanku yang satu itu. Ia bukan tipe pemuda yang suka cerita-cerita dongeng Disney, dan benar-benar menolak untuk menyukainya meski hanya sementarameski hanya untukku.
Kau tahu, orang-orang bilang dalam sebuah hubungan, selalu ada seseorang yang cintanya lebih besar dari yang lainnya; aku tahu sudah terlambat berharap kalau orang itu bukanlah aku.
Itulah mengapa kalau aku masih boleh bermimpi, kuharap suatu saat nanti ada seseorang, siapapun itu yang akan menyanyikan When I Was Your Man – Bruno Mars untukku. Sungguh, aku tak keberatan dengan metode apapun. Aku pasti akan menggabruknya dan mengatakan bahwa aku memaafkannya dan aku mencintainya dan terimakasih sudah mau mencintaiku sedalam itu. Tapi sayangnya, kemungkinan hal semacam itu terjadi hampir mendekati nol.
Jadi bisa dibilang, harapanku itu sulit sekali untuk mendekati kenyataan.
Dia pernah mengatakan bahwa ia sudah menyerah dengan segala tuntutan konyolku dan menyuruhku pergi mencari pemuda-pemuda dari negeri dongeng yang kuimpikan. Itu kalimat yang paling menyayat hatiku, ia mengirisnya, memotongnya kecil-kecil dan aku harus capek-capek mengumpulkan serpihan-serpihannya lagi. Tentu saja aku tetap kembali padanya, aku tetap percaya kalau dia memang mencintaiku, hanya saja dengan caranya sendiricara yang tak pernah kubayangkan dan sama sekali tak pernah ada di film-film.
Aku sadar aku membohongi diriku sendiri. Aku dan semua orang yang melihat dari kasat mata tahu kalau tak ada cinta buatku, oke, segala pikiran tentang ia mencintaiku dengan caranya itu hanya ilusi. Ia hanya membutuhkanku saat ia sudah tak punya hal lain untuk dikerjakan, dan mungkin saat dia sedang tak ada teman.
Setelah ini kau pasti masih tak percaya kalau aku masih saja mencintainya. Aku masih saja peduli jam berapa ia makan siang dan sedang apa dia sekarang. Aku benci kelemahanku yang satu ini. Seandainya aku bisa membuang sifat tak tepat sasaranku yang ini, aku bersedia membayar siapapun yang rela memungutnya dengan harga nego.
Tapi aku tak bisa.
Ia sendirilah kelemahanku itu. Aku tak bisa menahan diri untuk tak merindukannya, melihat senyumnya, mendengar suaranya.. aku tak bisa merasa kuat saat ia tak ada. Aku akan membutuhkan morfin dalam jumlah besar. Aku akan membutuhkan perawatan yang lama.

Aku tak sanggup tak mencintai si bodoh ini. Jadi, selanjutnya bagaimana?

No comments:

Post a Comment