Wednesday 26 June 2013

CUPLIKAN-CUPLIKAN KECIL (from my favourite scenes of MASK[s]!)

“Kau tidak benar-benar menyangka kau ini korban kejahatan atau apa bukan? Mengapa wajahmu tegang begitu?” Stefhan meringis.
“Hanya.. terlalu banyak asumsi dalam otakku.” dalihku singkat.
Stefhan meraih tanganku, menggenggamnya lembut lalu menariknya ke bibir. Ia mengecup punggung tanganku. “Simpan dulu asumsi-asumsimu itu, nanti akan kutanyakan lagi satu persatu.”
“Hmmm.” aku tak sanggup berkata-kata. Tak lama, kami sampai di sebuah pintu yang tingginya dua setengah kaki. Pintu itu berwarna coklat polos dengan kenop berwarna emas yang elegan. Stefhan membukanya pelan-pelan dan pintu itu sama sekali tak mengeluarkan suara.
“Ini.. kamarku.” Stefhan memberitahuku.
Kamar itu begitu luas, dua kali lipat lebih besar dari kamar di apartemenku. Dindingnya berwarna abu-abu  pucat, berbeda dengan warna dinding disepanjang sudut dalam rumah yang barusan kami lewati. Diseberang sana, sejajar dengan pintu, terdapat jendela dengan tirai putih yang menjorok keluar. Atap kamar Stefhan miring kearah jendelanya. Disisi kanan-kirinya terdapat masing-masing satu rak buku raksasa seperti yang pernah kulihat sebelumnya. Rak-rak tersebut penuh dengan buku yang tersusun dengan rapi, terlihat sangat baru. Disampingnya terdapat sebuah ranjang serba putih berukuran besar, kerangkanya terbuat dari kayu yang warnanya serupa dengan semua bahan kayu yang terdapat di seluruh interior rumah.
Namun bukan itu yang menarik perhatianku.
Hal yang tak bisa mengalihkan pandanganku adalah topeng-topeng itu. Ada lebih dari 10 lusin topeng menggantung disetiap sudut dinding. Puluhan berkelompok disamping rak buku, puluhan lagi diatas tempat tidur, lalu disebelah lemari dan didekat kamar mandi. Topeng-topeng itu bukan topeng bahan kayu atau plastik yang biasa kau jumpai di pesta-pesta kostum, namun lebih mirip seperti topeng berbahan karet yang biasa dilihat di berita kriminal; yang biasa dipakai seseorang untuk merampok atau semacamnya. Warnanya berbeda-beda, semua jenis warna kulit manusia dari berbagai macam ras. Topeng-topeng ini mempunyai satu macam ekspresi.
“Apa itu?” tanyaku spontan, tak berhasil menyembunyikan nada terkejutku.
“Topeng?” Stefhan menjawab dengan nada bertanya. Aku melihat kearahnya, melihat alisnya mengkerut. Ketara sekali ia khawatir dengan reaksiku.
“Kau mengoleksi topeng? Untuk apa?”
“Hanya.. hobi.” Ia ragu-ragu.
Aku menghampiri sekelompok topeng yang paling dekat dari posisiku berdiri, disamping lemari pakaian—lalu memicingkan mata, memperhatikan. Topeng-topeng itu memiliki bentuk wajah yang berbeda-beda dan hanya memiliki lubang di bagian mata dan lubang hidung. “Bolehkah?” tanyaku. Stefhan mengangguk, mengijinkanku menyentuh salah satu koleksinya. Permukaannya begitu lembut dan dingin.. kenyal seperti agar-agar. Topeng yang kusentuh memiliki janggut di dagunya. Seketika kusentuh bulu-bulu itu, lalu terkesiap.
Topeng ini asli dan sangat mungkin digunakan untuk penyamaran.

Stefhan menghampiriku dengan langkah terseret-seret. “Aku belum bisa menjawab pertanyaan apapun yang kau ajukan untuk mengetahui ada apa dibalik topeng-topeng ini, Shenia.” Dahinya mengkerut, seakan cemas kalau-kalau aku akan memaksa. “Kau mungkin akan mengetahuinya sendiri suatu saat nanti.”


***


Lalu apa yang harus aku lakukan? Bukankah tadi aku berjanji bahwa aku tak peduli siapa, bahkan apa Stefhan itu sebenarnya? Bukankah aku ingin tetap mengikutinya, berkecimpung dalam cerita hidupnya?
Terlalu berbahayakah pilihan itu?
Aku tak bisa memungkiri bahwa pikiran dan firasat-firasat buruk sedang menyerangku saat ini. Akan lebih baik sebenarnya bila aku tak pernah bertemu dan mencintai Stefhan, akan lebih baik sebenarnya bila aku hidup di dunia yang sudah kutinggali selama 17 tahun. Akan lebih baik bila aku tak pernah terjebak dalam situasi berbahaya macam apapun yang dapat mengancam nyawaku.
Tapi aku tahu aku tak akan bisa seperti itu. Mencintai Stefhan adalah pilihan. Setakut apapun, seberbahaya apapun keputusanku, itu adalah satu-satunya pilihan. Bersama-sama Stefhan entah sejak kapan menjadi harga mati bagiku. Aku bahkan tak mungkin mengurangi intensitasku untuk bersamanya, untuk memikirkannya. Sudah pernah kucoba beberapa kali—tak pernah ada yang berhasil.
Stefhan terlalu banyak mengambil bagian dalam kehidupanku. Ia terlalu serakah mengambil porsi dan aku tak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya. Aku akan tetap bersamanya, mencintainya, apapun kenyataan-kenyataan baru yang mungkin akan kuhadapi nantinya.
Aku menarik nafas dalam-dalam, dari hitungan 1 sampai 8, sebanyak 5 kali berturut-turut. Pelan-pelan kumatikan keran airnya, menatap kaca dan melatih wajahku sebiasa mungkin, sewajar yang kubisa. Lalu aku membuka pintu, mencari-carinya, kemudian melihatnya terduduk di ujung ranjang, menelungkupkan kedua tangannya yang berpangku pada paha, membungkuk menutupi wajahnya.
Aku menghampirinya pelan-pelan, duduk disampingnya dan membelai pipinya saat ia memalingkan wajah untuk menatapku.
“Aku tak peduli siapa kau ini.” ulangku tegas, kali ini tak ada keraguan sedikitpun didalamnya.
Stefhan memelukku, seerat yang ia bisa namun tetap menjaga agar tak sampai menyakitiku. Ingin sekali aku mengusap-usap punggungnya, mengatakan bahwa tak ada yang harus dicemaskan, semuanya akan baik-baik saja. Namun aku tak punya cukup kekuatan seperti itu. Sebenarnya aku tak pernah punya kekuatan untuk membuat kesan bahwa aku lebih tegar dan kuat dari siapapun.
“Terimakasih telah mendukung keegoisanku.” Suara Stefhan melemah. “Kau terlalu berharga bagiku sekarang ini, Shenia, aku tak sanggup membuang jauh-jauh egoku.”
“Kau tak perlu melakukannya. Karena aku juga sangat ingin bersamamu. Anggap saja itu pilihanku sendiri dan aku sangat memaksamu.”
Stefhan tersenyum dan membelai pipiku. Punggung tangannya begitu halus, begitu membuatku terbuai.
“Boleh aku meminta satu hal saja?”
“Apapun.”
“Jangan pernah berpikir bahwa kau punya cukup alasan untuk meninggalkanku. Aku tak pernah keberatan mengalami sendiri adegan-adegan di film action itu, kau tahu.”
Stefhan tertawa lagi, kali ini tertawa lega. “Sebisa mungkin aku akan selalu menjagamu tetap selamat.” Ia mengedipkan sebelah matanya. 

1 comment: