Pernah ada satu cerita dari mitologi Yunani yang membuatku terpukau. Aku benar-benar jatuh cinta pada cerita itu, benar-benar terinspirasi. Akhirnya suatu saat, kuputuskan untuk mengadaptasi ulang cerita tersebut dengan berimprovisasi sana-sini, memberi kesan modern dan kekinian, menghilangkan jejak fantasi dalam isi cerita dari mitologi sebelumnya.
"PYGMALION & GALATEA."
Pernah kucoba untuk menulisnya, namun apa daya lagi-lagi rasa malas membuatnya masih bersambung di chapter satu--itupun belum benar-benar selesai.
Doakan suatu saat cerita ini berlanjut, ya! :-D
PS:
Dibawah ini adalah beberapa paragraf awal yang kutulis, yang tidak pernah berkelanjutan:
SATU
AKU tak
pernah punya keberanian untuk menghitung waktu. Tak tahu sudah berapa lama aku
berdiri mematung di balkon, merasakan hangatnya sinar matahari menembus setiap
sela-sela kecil pori-poriku, menikmati hembusan angin yang terkadang rasanya
seperti zat padat yang menghujam halus kulitku, namun hancur tanpa bekas sesaat
setelah menyentuhnya. Aku benci bergerak, benci membuka mataku dan
menghancurkan kenyamanan yang kurasakan. Kali ini terutama aku benci melihat ke
belakang, ke arah kaca jendela balkon yang tingginya dua kali lipat dari
tinggiku sendiri—aku
benci pantulan sesosok gadis cantik bergaun putih panjang yang mengenakan
perhiasan-perhiasan mewah di leher dan tangannya, juga anting-anting kemilau menggantung
indah di kedua daun telinganya. Aku benci melihatnya begitu menawan, seperti
pahatan patung tanpa cela, dengan kedua mata lebar yang indah dan lensa mata
coklat mudanya yang membuai; bibir ranumnya yang kemerahan dan penuh
keeksotikan; dagunya yang lancip dan lehernya yang jenjang; serta lekuk
tubuhnya yang indah dan sempurna.
Aku tak pernah meluangkan waktu
untuk memikirkan berapa kemungkinan yang dapat kugunakan untuk merubah hidupku,
memulai semuanya dari awal. Yang paling sering kupikirkan adalah hal-hal baru
apa lagi yang sedang direncanakan Tuhan untukku. Aku tidak pernah memberikan
pendapat. Aku senang mengangguk dan menyetujui, karena aku sama sekali tidak
ingin peduli. Tidak bahkan di saat-saat seperti ini, saat-saat dimana aku
sendirilah yang seharusnya menentukan jalan hidupku, dan keputusan-keputusan
mana yang akan kuambil. Tak ada pilihan untuk menyeleksi mana yang benar dan
mana yang salah. Jalan hidupku sudah ditentukan, garis nasibku sudah
ditetapkan.
“Galatea,”
Sebuah suara mengejutkanku. Aku memang bisu, tapi aku sama sekali tidak tuli.
Aku hafal suaranya, itu adalah suster Amara—satu-satunya
orang yang benar-benar kukenal di dunia; satu-satunya orang yang bisa kuajak
bicara. Sesegera mungkin aku menyapukan sebelah tangan kiri ke seluruh
permukaan wajahku, khawatir kalau-kalau aku meninggalkan sesuatu disana. “Apa
yang masih kau lakukan disini, nak?”
“Tidak ada,
suster,”
Tanganku bergerak cepat, berbicara dengan bahasa isyarat padanya. Aku
memandangnya dan tersenyum. Wajahnya menatapku getir, seakan ikut merasakan
kepedihanku, penderitaan yang mencengkeram hatiku. Hal-hal yang seolah
menegaskan bahwa aku tidak pernah punya banyak alasan untuk tersenyum seperti
itu.
“Kau
bisa kedinginan,” Suster Amara menyelimutkan jubah wol hangat di tubuhku.
Bagaimana aku bisa kedinginan kalau aku masih dapat mensyukuri sinar matahari
yang menyorotiku sejak tadi? Kemudian aku melirik keatas dan menyadari sesuatu.
Matahari tadi sudah lenyap entah sejak kapan. Oh.
“Aku baik-baik
saja,”
Kali ini tanganku bergerak lebih lambat. Tapi aku mempertahankan senyum saat ia
membawaku masuk kedalam. Kami duduk di salah satu sofa lebar yang berada di
sudut kamarku. Ruangan yang tidak pernah membuatku terbiasa, tak peduli sudah
selama apapun aku terjebak disana. Suster Amara memelukku, dengan sebelah
lengan kanannya dilingkarkan di bahuku. Ia menatapku dalam-dalam dengan penuh
rasa sayang, dan prihatin.
“Pukul berapa
acaranya dimulai?” tanyaku, berusaha terlihat biasa-biasa saja.
“Pukul
enam, masih ada tiga jam lagi.”
Aku
memejamkan mataku dan mengangguk.
“Jadi,
suster. Apa kau tahu sesuatu tentang calon suamiku ini?”
“Namanya
Pygmalion Edgar Hall,” jawabnya datar. “Kau bisa memanggilnya Edgar.”
“Ceritakan lebih
lagi,”
desakku. “Bagaimana rupanya?”
Ia
memandangiku, tak percaya dengan ketertarikan palsu di mataku. “Sejujurnya,
pemuda itu lebih dari sekedar tampan. Tubuhnya tegap dan kekar, cukup untuk
membuat wanita manapun tergila-gila padanya.”
“Sifatnya?”
“Ia
sangat sopan. Ia pun pintar dan berbakat. Keluarga Hall hanya mempunyai satu
lagi anak perempuan bernama Hera, dan Edgar adalah anak tertua. Jadi Edgar-lah
satu-satunya pewaris. Suatu saat nanti ia akan mengepalai semua jalur pemasukan
dan pengeluaran dari bisnis yang diproduksi keluarga konglomerat Inggris itu di
Indonesia.”
“Berapa
umurnya?”
“Dua
puluh tiga tahun, hanya tiga tahun lebih tua darimu.”
Aku
memandang langit-langit. Diam-diam bersyukur karena ini mungkin saja tidak akan
terlalu sulit. Edgar—siapapun dia—kedengarannya adalah calon
suami yang sempurna. Mungkin aku tidak perlu repot-repot berusaha keras
mencintainya. Atau mungkin aku tidak harus mencintainya sama sekali.
“Bagaimana
perasaanmu?” tanya suster Amara. Kerutan di wajah yang seolah menggambarkan
usia tuanya sedikit membuatku panik. Tapi sedekat apapun aku dengan suster Amara,
bukan berati aku tidak pandai menyembunyikan sesuatu darinya.
“Baik.”
“Apa
kau sama sekali tidak merasa sedih?” tuntutnya. “Kau tahu kau bisa bercerita
apapun padaku, Galatea.”
“Mana mereka?” Aku
berusaha keras mengalihkan perhatiannya.
Suster
Amara mendesah. “Tuan dan Nyonya Bramanung mungkin sedang sibuk mempersiapkan
acaranya.”
“Apa masih ada
yang kurang?”
“Terakhir
kali kutanyakan mereka masih menunggu bunga-bunganya.” jawabnya.
Sirat
kekhawatiran di wajahnya membuatku semakin tidak nyaman.
“Aku ingin
jalan-jalan,” aku memberitahunya. Suster Amara mengerutkan dahi. “Jangan khawatir, aku hanya akan duduk-duduk
di air mancur taman, dekat lokasi. Akan ada lebih dari dua puluh orang disana.”
Ia
berpikir sebentar. “Baiklah,” jawabnya. Suster Amara mengenalku dengan baik,
karena itu aku tahu pada saat ini ia sebenarnya pasti lebih ingin membiarkanku
sendirian daripada harus ditemani. Aku bangkit dari dudukku, tidak melepaskan
jubah wolnya karena aku khawatir ia akan berbicara sesuatu, aku tidak ingin
memberinya sedikitpun alasan untuk berubah kepikiran dan mencegahku keluar
sendirian. “Tapi kau harus berjanji, tidak akan jauh-jauh.”
Aku
berbalik dan tersenyum lagi padanya, sebelah tanganku hampir menggapai kenop
pintu. Aku meninggalkan ruangan tanpa mendengar kata-katanya lagi.
Aku
menuju taman dengan melewati tangga di balkon belakang. Udara sejuk kembali
menerpa wajahku, walau kali ini tanpa matahari. Dari kejauhan aku dapat melihat
beberapa orang begitu sibuk bekerja, hilir-mudik mempersiapkan pesta pertunanganku.
Pesta pertunangan dengan orang yang bahkan belum kukenal.
Aku
terkekeh pelan, berusaha menyembunyikan perasaan miris dari diriku sendiri.
Tapi guratan setajam silet itu seolah tidak pernah hilang dari hatiku—selalu
siap untuk membuatku merasa sakit kapan saja. Kakiku terus berjalan, aku tidak
mengangkat gaunku sama sekali, tidak peduli gaunku kotor, tidak peduli apapun.
Aku berusaha merasa terhibur dengan pikiran-pikiran konyol di otakku. Mungkin
tentang suami yang akan menyiksaku setiap hari dengan tamparan dan kata-kata
kasarnya.. Mungkin tentang meracik racun herbal yang akan kuminum sendiri..
Mungkin tentang mempunyai anak dan meninggal saat melahirkannya..
Aku
membiarkan angin membawa suasana hatiku menjadi berlarut-larut. Saat ini, tak
ada yang lebih kuinginkan dari menertawakan kisah hidupku sendiri, atau
cerita-cerita masa lalu maupun gambaran masa depanku. Aku ingin duduk. Aku
ingin bersantai. Aku ingin menikmati kebebasan sementaraku sebelum
terkurung kembali di sangkar emas yang sudah memerangkap sebagian dari jiwaku.
Aku ingin mengeluarkan seluruh sisa airmataku sebelum aku tak bisa merasakannya
menuruni kedua pipiku lagi.
Aku
melepas sepatuku, meninggalkannya begitu saja di rerumputan. Aku cukup yakin
tak ada seorangpun yang melihatku disini. Tak ada seorangpun yang melihatku
berjalan kearah sini. Aku melewati air mancur taman belakang dan mengingat
janjiku pada suster Amara. Aku masih akan berada di dekat sini, ia tak akan
sempat merasa khawatir sebelum menemukanku.
Aku
terus berjalan, jauh kedalam taman sekitar kediaman keluarga Bramanung yang
luasnya tak bisa kutafsirkan. Meninggalkan orang-orang sibuk itu semakin jauh
dibelakang. Sebelas tahun lamanya tinggal tetap tidak cukup membuatku mengenal
tempat ini dengan baik. Bramanung adalah keluarga konglomerat yang kaya raya.
Aku tak ingin membayangkan dimana saja mereka menyebarkan harta-hartanya yang
melimpah ruah. Menjadi puteri angkat dalam keluarga ini seharusnya membuatku
bahagia, atau setidaknya bangga.
Tapi
tidak ada seorangpun yang tahu kenapa aku begitu membenci mereka.
No comments:
Post a Comment