Sunday 26 May 2013

LAMA SEKALI INGIN MENULIS CERITA INI.



Pernah ada satu cerita dari mitologi Yunani yang membuatku terpukau. Aku benar-benar jatuh cinta pada cerita itu, benar-benar terinspirasi. Akhirnya suatu saat, kuputuskan untuk mengadaptasi ulang cerita tersebut dengan berimprovisasi sana-sini, memberi kesan modern dan kekinian, menghilangkan jejak fantasi dalam isi cerita dari mitologi sebelumnya.
"PYGMALION & GALATEA."
Pernah kucoba untuk menulisnya, namun apa daya lagi-lagi rasa malas membuatnya masih bersambung di chapter satu--itupun belum benar-benar selesai.
Doakan suatu saat cerita ini berlanjut, ya! :-D

PS: 
Dibawah ini adalah beberapa paragraf awal yang kutulis, yang tidak pernah berkelanjutan:





SATU



AKU tak pernah punya keberanian untuk menghitung waktu. Tak tahu sudah berapa lama aku berdiri mematung di balkon, merasakan hangatnya sinar matahari menembus setiap sela-sela kecil pori-poriku, menikmati hembusan angin yang terkadang rasanya seperti zat padat yang menghujam halus kulitku, namun hancur tanpa bekas sesaat setelah menyentuhnya. Aku benci bergerak, benci membuka mataku dan menghancurkan kenyamanan yang kurasakan. Kali ini terutama aku benci melihat ke belakang, ke arah kaca jendela balkon yang tingginya dua kali lipat dari tinggiku sendiriaku benci pantulan sesosok gadis cantik bergaun putih panjang yang mengenakan perhiasan-perhiasan mewah di leher dan tangannya, juga anting-anting kemilau menggantung indah di kedua daun telinganya. Aku benci melihatnya begitu menawan, seperti pahatan patung tanpa cela, dengan kedua mata lebar yang indah dan lensa mata coklat mudanya yang membuai; bibir ranumnya yang kemerahan dan penuh keeksotikan; dagunya yang lancip dan lehernya yang jenjang; serta lekuk tubuhnya yang indah dan sempurna.
            Aku tak pernah meluangkan waktu untuk memikirkan berapa kemungkinan yang dapat kugunakan untuk merubah hidupku, memulai semuanya dari awal. Yang paling sering kupikirkan adalah hal-hal baru apa lagi yang sedang direncanakan Tuhan untukku. Aku tidak pernah memberikan pendapat. Aku senang mengangguk dan menyetujui, karena aku sama sekali tidak ingin peduli. Tidak bahkan di saat-saat seperti ini, saat-saat dimana aku sendirilah yang seharusnya menentukan jalan hidupku, dan keputusan-keputusan mana yang akan kuambil. Tak ada pilihan untuk menyeleksi mana yang benar dan mana yang salah. Jalan hidupku sudah ditentukan, garis nasibku sudah ditetapkan.
“Galatea,” Sebuah suara mengejutkanku. Aku memang bisu, tapi aku sama sekali tidak tuli. Aku hafal suaranya, itu adalah suster Amarasatu-satunya orang yang benar-benar kukenal di dunia; satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara. Sesegera mungkin aku menyapukan sebelah tangan kiri ke seluruh permukaan wajahku, khawatir kalau-kalau aku meninggalkan sesuatu disana. “Apa yang masih kau lakukan disini, nak?”
“Tidak ada, suster,” Tanganku bergerak cepat, berbicara dengan bahasa isyarat padanya. Aku memandangnya dan tersenyum. Wajahnya menatapku getir, seakan ikut merasakan kepedihanku, penderitaan yang mencengkeram hatiku. Hal-hal yang seolah menegaskan bahwa aku tidak pernah punya banyak alasan untuk tersenyum seperti itu.
“Kau bisa kedinginan,” Suster Amara menyelimutkan jubah wol hangat di tubuhku. Bagaimana aku bisa kedinginan kalau aku masih dapat mensyukuri sinar matahari yang menyorotiku sejak tadi? Kemudian aku melirik keatas dan menyadari sesuatu. Matahari tadi sudah lenyap entah sejak kapan. Oh.
“Aku baik-baik saja,” Kali ini tanganku bergerak lebih lambat. Tapi aku mempertahankan senyum saat ia membawaku masuk kedalam. Kami duduk di salah satu sofa lebar yang berada di sudut kamarku. Ruangan yang tidak pernah membuatku terbiasa, tak peduli sudah selama apapun aku terjebak disana. Suster Amara memelukku, dengan sebelah lengan kanannya dilingkarkan di bahuku. Ia menatapku dalam-dalam dengan penuh rasa sayang, dan prihatin.
“Pukul berapa acaranya dimulai?” tanyaku, berusaha terlihat biasa-biasa saja.
“Pukul enam, masih ada tiga jam lagi.”
Aku memejamkan mataku dan mengangguk.
 “Jadi, suster. Apa kau tahu sesuatu tentang calon suamiku ini?”
“Namanya Pygmalion Edgar Hall,” jawabnya datar. “Kau bisa memanggilnya Edgar.”
“Ceritakan lebih lagi,” desakku. “Bagaimana rupanya?”
Ia memandangiku, tak percaya dengan ketertarikan palsu di mataku. “Sejujurnya, pemuda itu lebih dari sekedar tampan. Tubuhnya tegap dan kekar, cukup untuk membuat wanita manapun tergila-gila padanya.”
“Sifatnya?”
“Ia sangat sopan. Ia pun pintar dan berbakat. Keluarga Hall hanya mempunyai satu lagi anak perempuan bernama Hera, dan Edgar adalah anak tertua. Jadi Edgar-lah satu-satunya pewaris. Suatu saat nanti ia akan mengepalai semua jalur pemasukan dan pengeluaran dari bisnis yang diproduksi keluarga konglomerat Inggris itu di Indonesia.”
“Berapa umurnya?”
“Dua puluh tiga tahun, hanya tiga tahun lebih tua darimu.”
Aku memandang langit-langit. Diam-diam bersyukur karena ini mungkin saja tidak akan terlalu sulit. Edgarsiapapun dia—kedengarannya adalah calon suami yang sempurna. Mungkin aku tidak perlu repot-repot berusaha keras mencintainya. Atau mungkin aku tidak harus mencintainya sama sekali.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya suster Amara. Kerutan di wajah yang seolah menggambarkan usia tuanya sedikit membuatku panik. Tapi sedekat apapun aku dengan suster Amara, bukan berati aku tidak pandai menyembunyikan sesuatu darinya.
“Baik.”
“Apa kau sama sekali tidak merasa sedih?” tuntutnya. “Kau tahu kau bisa bercerita apapun padaku, Galatea.”
“Mana mereka?” Aku berusaha keras mengalihkan perhatiannya.
Suster Amara mendesah. “Tuan dan Nyonya Bramanung mungkin sedang sibuk mempersiapkan acaranya.”
“Apa masih ada yang kurang?”
“Terakhir kali kutanyakan mereka masih menunggu bunga-bunganya.” jawabnya.
Sirat kekhawatiran di wajahnya membuatku semakin tidak nyaman.
“Aku ingin jalan-jalan,” aku memberitahunya. Suster Amara mengerutkan dahi. “Jangan khawatir, aku hanya akan duduk-duduk di air mancur taman, dekat lokasi. Akan ada lebih dari dua puluh orang disana.”
Ia berpikir sebentar. “Baiklah,” jawabnya. Suster Amara mengenalku dengan baik, karena itu aku tahu pada saat ini ia sebenarnya pasti lebih ingin membiarkanku sendirian daripada harus ditemani. Aku bangkit dari dudukku, tidak melepaskan jubah wolnya karena aku khawatir ia akan berbicara sesuatu, aku tidak ingin memberinya sedikitpun alasan untuk berubah kepikiran dan mencegahku keluar sendirian. “Tapi kau harus berjanji, tidak akan jauh-jauh.”
Aku berbalik dan tersenyum lagi padanya, sebelah tanganku hampir menggapai kenop pintu. Aku meninggalkan ruangan tanpa mendengar kata-katanya lagi.
Aku menuju taman dengan melewati tangga di balkon belakang. Udara sejuk kembali menerpa wajahku, walau kali ini tanpa matahari. Dari kejauhan aku dapat melihat beberapa orang begitu sibuk bekerja, hilir-mudik mempersiapkan pesta pertunanganku. Pesta pertunangan dengan orang yang bahkan belum kukenal.
Aku terkekeh pelan, berusaha menyembunyikan perasaan miris dari diriku sendiri. Tapi guratan setajam silet itu seolah tidak pernah hilang dari hatikuselalu siap untuk membuatku merasa sakit kapan saja. Kakiku terus berjalan, aku tidak mengangkat gaunku sama sekali, tidak peduli gaunku kotor, tidak peduli apapun. Aku berusaha merasa terhibur dengan pikiran-pikiran konyol di otakku. Mungkin tentang suami yang akan menyiksaku setiap hari dengan tamparan dan kata-kata kasarnya.. Mungkin tentang meracik racun herbal yang akan kuminum sendiri.. Mungkin tentang mempunyai anak dan meninggal saat melahirkannya..
Aku membiarkan angin membawa suasana hatiku menjadi berlarut-larut. Saat ini, tak ada yang lebih kuinginkan dari menertawakan kisah hidupku sendiri, atau cerita-cerita masa lalu maupun gambaran masa depanku. Aku ingin duduk. Aku ingin bersantai. Aku ingin menikmati kebebasan sementaraku sebelum terkurung kembali di sangkar emas yang sudah memerangkap sebagian dari jiwaku. Aku ingin mengeluarkan seluruh sisa airmataku sebelum aku tak bisa merasakannya menuruni kedua pipiku lagi.
Aku melepas sepatuku, meninggalkannya begitu saja di rerumputan. Aku cukup yakin tak ada seorangpun yang melihatku disini. Tak ada seorangpun yang melihatku berjalan kearah sini. Aku melewati air mancur taman belakang dan mengingat janjiku pada suster Amara. Aku masih akan berada di dekat sini, ia tak akan sempat merasa khawatir sebelum menemukanku.
Aku terus berjalan, jauh kedalam taman sekitar kediaman keluarga Bramanung yang luasnya tak bisa kutafsirkan. Meninggalkan orang-orang sibuk itu semakin jauh dibelakang. Sebelas tahun lamanya tinggal tetap tidak cukup membuatku mengenal tempat ini dengan baik. Bramanung adalah keluarga konglomerat yang kaya raya. Aku tak ingin membayangkan dimana saja mereka menyebarkan harta-hartanya yang melimpah ruah. Menjadi puteri angkat dalam keluarga ini seharusnya membuatku bahagia, atau setidaknya bangga.
Tapi tidak ada seorangpun yang tahu kenapa aku begitu membenci mereka.

No comments:

Post a Comment